Konsumerisme
Konsumerisme adalah suatu gerakan sosial yang dilakukan oleh
berbagai pihak yang bertujuan untuk meningkatkan posisi konsumen dalam
berinteraksi dengan pihak penjual, baik sebelum, pada saat, dan setelah
konsumsi dilakukan. Konsumen perlu mengetahui hak-haknya secara jelas sehingga
apabila terjadi ketidaksesuaian yang dirasakan pada tiga fase tersebut,
konsumen akan dapat mengidentifikasi letak ketidaksesuaiannya, di mana karena
sumber permasalahan dapat berasal dari kecerobohan konsumen itu sendiri.
Pemaknaan istilah konsumtivisme dan konsumerisme jelas
berbeda, sama hal orang menilai apa itu emas dan kuningan, tetapi kerap kali
konsumtivisme di-sama-arti-kan dengan konsumerisme. Kedua istilah tersebut
adalah dua hal yang berbeda maknanya. Dari kedua arti kata-kata tersebut jelas
bahwa konsumerisme justru yang harus digalakkan dan konsumtivisme yang harus
dijauhi.
Konsumtivisme merupakan paham untuk hidup secara konsumtif,
sehingga orang yang konsumtif dapat dikatakan tidak lagi mempertimbangkan
fungsi atau kegunaan ketika membeli barang melainkan mempertimbangkan prestise
yang melekat pada barang tersebut. Oleh karena itu, arti kata konsumtif
(consumtive) adalah boros atau perilaku yang boros, yang mengonsumsi barang
atau jasa secara berlebihan. Dalam artian luas konsumtif adalah perilaku
berkonsumsi yang boros dan berlebihan, yang lebih mendahulukan keinginan
daripada kebutuhan, serta tidak ada skala prioritas atau juga dapat diartikan
sebagai gaya hidup yang bermewah-mewah.
Sedangkan konsumerisme itu sendiri merupakan gerakan
konsumen (consumer movement) yang mempertanyakan kembali dampak-dampak
aktivitas pasar bagi konsumen (akhir). Dalam pengertian lebih luas, istilah
konsumerisme, dapat diartikan sebagai gerakan yang memperjuangkan kedudukan
yang seimbang antara konsumen, pelaku usaha dan negara dan gerakan tidak
sekadar hanya melingkupi isu kehidupan sehari-hari mengenai produk harga naik
atau kualitas buruk, termasuk hak asasi manusia berikut dampaknya bagi
konsumer. Dalam kamus bahasa Inggris-Indonesia kontemporer (Peter Salim, 1996),
arti konsumerisme (consumerism) adalah cara melindungi publik dengan
memberitahukan kepada mereka tentang barang-barang yang berkualitas buruk,
tidak aman dipakai dan sebagainya. Selain itu, arti kata ini adalah pemakaian
barang dan jasa. Bila kita telesuri makna kata konsumtivisme maupun
konsumerisme bukan sesuatu hal yang baru. Sebab pada dasarnya -isme yang satu
ini ternyata sudah lama ada dan sejak awal telah mengakar kuat di dalam
kemanusiaan kita (our humanity). Hal ini bisa kita lihat dari ekspresinya yang
paling primitif hingga yang paling mutakhir di jaman modern ini. Tendensi yang
ada dalam diri manusia untuk selalu tak pernah puas (never-ending-discontentment)
”mau ini-mau itu” dengan hal-hal yang telah mereka miliki, ditambah dengan
dorongan kuat ambisi pribadi dan semangat kompetisi untuk mencapai sesuatu yang
lebih daripada tetangga sebelah membuat pola hidup konsumerisme (dibaca :
konsumtivisme) semakin subur dan berkembang amat cepat saja.
Masyarakat Konsumer
Dalam ranah masyarakat konsumer hasrat direproduksi lewat
ide-ide yang terbentuk lewat proses sosial. Baudrillard misalnya melihat bahwa
struktur nilai yang tercipta secara diskursif menentukan kehadiran hasrat.
Struktur nilai dalam realitas masyarakat konsumer ini menurutnya mengejawantah
dalam kode-kode. Produksi tidak lagi menciptakan materi sebagai objek
eksternal, produksi menciptakan materi sebagai kode-kode yang menstimulasi
kebutuhan atau hasrat sebagai objek internal konsumsi. Dalam nalar Freudian
hasrat untuk mengonsumsi secara mendasar adalah sesuatu yang bersifat
instingtual. Ia berada dalam fase pertama perkembangan struktur psikis manusia:
yaitu id. Pada fase id ini semua tindakan mengacu atau didasari oleh prinsip
kesenangan-kesenangan yang bersifat spontan. Adalah jelas bahwa tindakan untuk
mencapai kepuasan dan kesenangan spontan ini dalam fase id bersifat irasional.
Mengonsumsi pada awalnya terkait dengan tindakan menggapai kepuasan secara
irasional, spontan dan temporal - fase id struktur psikis manusia.
Masyarakat konsumer disebut Jean Braudillard dengan
masyarakat kapitalis mutakhir (Jean Braudillard, 2005) dan Adorno dengan
“masyarakat komoditas” (commodity society) (Ibrahim dalam Ibrahim, hal. 1997,
hal. 24). Adorno mengemukakan empat aksioma penting yang menandai “masyarakat
komoditas” atau ”masyarakat konsumer”. Empat aksioma tersebut adalah ; Pertama,
masyarakat yang di dalamnya berlangsung produksi barang-barang, bukan terutama
bagi pemuasan keinginan dan kebutuhan manusia, tetapi demi profit dan
keuntungan. Kedua, dalam masyarakat komoditas, muncul kecenderungan umum ke
arah konsentrasi kapital yang massif dan luar biasa yang memungkinkan
penyelubungan operasi pasar bebas demi keuntungan produksi massa yang
dimonopoli dari barang-barang yang distandarisasi. Kecenderungan ini akan
benar-benar terjadi, terutama terhadap industri komunikasi. Ketiga, hal yang
lebih sulit dihadapi oleh masyarakat kontemporer adalah meningkatnya tuntutan
terus menerus, sebagai kecenderungan dari kelompok yang lebih kuat untuk
memelihara, melalui semua sarana yang tersedia, kondisi-kondisi relasi
kekuasaan dan kekayaan yang ada dalam menghadapi ancaman-ancaman yang
sebenarnya mereka sebarkan sendiri. Dan keempat, karena dalam masyarakat kita
kekuatan-kekuatan produksi sudah sangat maju, dan pada saat yang sama,
hubungan-hubungan produksi terus membelenggu kekuatan-kekuatan produksi yang
ada, hal ini membuat masyarakat komoditas “sarat dengan antagonisme” (full of
antagonism). Antagonisme ini tentu saja tidak terbatas pada “wilayah ekonomi”
(economic sphere) tetapi juga ke “wilayah budaya” (cultural sphere).
Proses Gaya Hidup
Dalam masyarakat komoditas atau konsumer terdapat suatu
proses adopsi cara belajar menuju aktivitas konsumsi dan pengembangan suatu
gaya hidup (Feathersone, 2005). Pembelajaran ini dilakukan melalui majalah,
koran, buku, televisi, dan radio, yang banyak menekankan peningkatan diri,
pengembangan diri, transformasi personal, bagaimana mengelola kepemilikan,
hubungan dan ambisi, serta bagaimana membangun gaya hidup.
Dengan demikian, mereka yang bekerja di media, desain, mode,
dan periklanan serta para ‘intelektual informasi’ yang pekerjaannya adalah
memberikan pelayanan serta memproduksi, memasarkan dan menyebarkan
barang-barang simbolik disebut oleh Bordieu (1984) sebagai ‘perantara budaya
baru’. Dalam wacana kapitalisme, semua yang diproduksi oleh kapitalisme pada
akhirnya akan didekonstruksi oleh produksi baru berikutnya, berdasarkan hukum
“kemajuan” dan “kebaruan”. Dan karena dukungan media, realitas-realitas
diproduksi mengikuti model-model yang ditawarkan oleh media (Piliang dalam
Ibrahim, 1997, hal. 200).
Budaya konsumerisme terutama muncul setelah masa
industrialisasi ketika barang-barang mulai diproduksi secara massal sehingga
membutuhkan konsumen lebih luas. Media dalam hal ini menempati posisi strategis
sekaligus menentukan; yaitu sebagai medium yang menjembatani produsen dengan
masyarakat sebagai calon konsumen.
Masalah ini dikaji secara reflektif-akademik oleh seorang
cendikiawan Prancis terkemuka, Jean Baudrillard. Secara umum, menurutnya, media
berperan sebagai agen yang menyebar imaji-imaji kepada khalayak luas. Keputusan
setiap orang untuk membeli atau tidak, benar-benar dipengaruhi oleh kekuatan
imaji tersebut. Jadi motivasi untuk membeli tidak lagi berangkat dari dalam
diri seseorang berdasarkan kebutuhannya yang riil, namun lebih karena adanya
otoritas lain di luar dirinya yang “memaksa” untuk membeli. Hasrat belanja
masyarakat merupakan hasil konstruksi yang disengaja. Jauh hari sebelum
hari-hari besar itu, media terutama televisi telah memoles-moles dirinya untuk
bersiap bergumul ke dalam kancah persaingan merebut hati para pemirsa. Berbagai
program, dari mulai sinetron, kuis, sandiwara komedi, sampai musik, disediakan
sebagai persembahan spesial untuk menyambut hari spesial. Semakin cantik acara
yang disajikan akan semakin mengundang banyak penonton. Selanjutnya, rating-pun
tinggi sehingga merangsang kalangan produsen untuk memasang iklan. Iklan
merupakan proses persuasi yang sangat efektif dalam memengaruhi keputusan
masyarakat dalam mengonsumsi.
Bagaimana menghindar dari konsumerisme? Mengonsumsi
sebenarnya merupakan kegiatan yang wajar dilakukan. Namun, dewasa ini disadari
bahwa masyarakat tidak hanya mengonsumsi, tapi telah terjebak ke dalam budaya
konsumerisme. Budaya ini dikatakan berbahaya karena berekses negatif terhadap
lingkungan hidup, juga meluruhnya hubungan sosial dan bertahtanya kesadaran
palsu di benak masyarakat. Sekarang sudah saatnya menjadi konsumen yang cerdas
dan kritis, bukan lagi saatnya menjadi — dalam istilah Bre Redana — mindless
consumer, konsumen yang tidak berotak, pasif, dan gampang dibodohi. Mulailah
mengendalikan diri dan membelanjakan uang hanya untuk barang yang benar-benar
kita perlukan, jangan mudah terpengaruh dengan rayuan untuk membeli dan mulai
mempertanyakan proses di balik pembuatan barang yang akan kita beli. Sebagai
konsumen, kita berhak melakukannya karena kita adalah raja
Budaya Konsumer
Pilliang mengemukakan bahwa: Kebudayaan konsumer yang
dikendalikan sepenuhnya oleh hukum komoditi, yang menjadikan konsumer sebagai
raja; yang menghormati setinggi-tingginya nilai-nilai individu, yang memenuhi
selengkap dan sebaik mungkin kebutuhan-kebutuhan, aspirasi, keinginan dan
nafsu, telah memberi peluang bagi setiap orang untuk asyik dengan sendirinya
(Piliang, 1999, hal. 44).
Masyarakat yang hidup dalam budaya konsumer. Ada tiga
perspektif utama mengenai budaya konsumer menurut Featherstone (1991). Tiga
perspektif yang dimaksud adalah ; Pertama, budaya konsumer di dasari pada
premis ekspansi produksi komoditas kapitalis yang telah menyebabkan peningkatan
akumulasi budaya material secara luas dalam bentuk barang-barang konsumsi dan tempat-tempat
untuk pembelanjaan dan untuk konsumsi. Hal ini menyebabkan tumbuhnya aktivitas
konsumsi serta menonjolnya pemanfaatan waktu luang (leisure) pada masyarakat
kontemporer Barat. Kedua, perspektif budaya konsumer berdasarkan perspektif
sosiologis yang lebih ketat, yaitu bahwa kepuasan seseorang yang diperoleh dari
barang-barang yang dikonsumsi berkaitan dengan aksesnya yang terstruktur secara
sosial. Fokus dari perspektif ini terletak pada berbagai cara orang
memanfaatkan barang guna menciptakan ikatan sosial atau perbedaan sosial.
Ketiga, perspektif yang berangkat dari pertanyaan mengenai
kesenangan/kenikmatan emosional dari aktivitas konsumsi, impian dan hasrat yang
menonjol dalam khayalan budaya konsumer, dan khususnya tempat-tempat kegiatan
konsumsi yang secara beragam menimbulkan kegairahan dan kenikmatan estetis
langsung terhadap tubuh.
Budaya konsumerisme (dibaca : konsumtivisme) merupakan
jantung dari kapitalisme, adalah sebuah budaya yang di dalamnya berbagai bentuk
dusta, halusinasi, mimpi, kesemuan, artifisialitas, pendangkalan, kemasan wujud
komoditi, melalui strategi hipersemiotika dan imagologi, yang kemudian
dikonstruksi secara sosial melalui komunikasi ekonomi (iklan, show, media dan
sebagainya) sebagai kekuatan tanda (semiotic power) kapitalisme. Semiotika
(semiotics) adalah salah satu dari ilmu yang oleh beberapa ahli/pemikir
dikaitkan dengan kedustaan, kebohongan, dan kepalsuan, sebuah teori dusta.
Jadi, ada asumsi terhadap teori dusta ini serta beberapa teori lainnya yang
sejenis, yang dijadikan sebagai titik berangkat dari sebuah kecenderungan
semiotika, yang kemudian disebut juga sebagai hipersemiotika (hyper-semiotics).
Umberto Eco yang menulis tentang teori semiotika ini
mengatakan bahwa semiotika “…pada prinsipnya adalah sebuah disiplin yang
mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta (lie).” Definisi
Eco cukup mencengangkan banyak orang, secara eksplisit menjelaskan betapa
sentralnya konsep dusta di dalam wacana semiotika, sehingga dusta tampaknya
menjadi prinsip utama semiotika itu sendiri. Dalam semiotika, bila segala
sesuatu yang dalam terminologi semiotika disebut sebagai tanda (sign), semata
alat untuk berdusta, maka setiap tanda akan selalu mengandung muatan dusta;
setiap makna (meaning) adalah dusta; setiap pengguna tanda adalah para
pendusta; setiap proses pertandaan (signification) adalah kedustaan.
Umberto Eco menjelaskan bahwa bila sesuatu tidak dapat
digunakan untuk mengungkapkan dusta, maka sebaliknya ia tidak dapat pula
digunakan untuk mengungkapkan kebenaran (truth): ia pada kenyataannya tidak
dapat digunakan untuk “mengungkapkan” apa-apa. Dia berpikir definisi sebagai
sebuah teori kedustaan sudah sepantasnya diterima sebagai program komprehensif
untuk semiotika umum. Hipersemiotika tidak sekadar teori kedustaan, melainkan
teori yang berkaitan dengan relasi-relasi lainnya yang lebih kompleks antara
tanda, makna dan realitas, khususnya relasi simulasi. Hipersemiotika yang
berarti melampaui batas semiotika merupakan sebuah kecenderungan yang berkembang
pada beberapa pemikir, khususnya pemikir semiotika yang berupaya melampaui
batas oposisi biner (prinsip pertentangan di antara dua istilah berseberangan
dalam strukturalisme, yang satu dianggap lebih superior dari yang lainnya:
maskulin/feminin. Barat/Timur, struktur perkembangan, fisika/meta-fisika,
tanda/realitas dan sebagainya.
Prinsip ini sangat sentral dalam pemikiran struktural
mengenai semiotika, antara lain: perubahan dan transformasi, sifat imanensi,
perbedaan, permainan bahasa, simulai, dan diskontinuitas. Dengan demikian,
dunia hipersemiotika tidak dapat dipisahkan dari dunia hiperealitas yang
dilukiskan oleh Baudrillard, sebuah dunia realitas yang dalam konstruksinya
tidak bisa dilepaskan dari produksi dan permainan benas tanda-tanda yang melampaui
(hyper-sign), sebuah tanda yang melampaui prinsip, definisi, struktur, dan
fungsinya sendiri. Prinsipnya hipersemiotika sama dengan poststrukturalisme,
persamaan konsep kunci yang digunakan di dalamnya, namun berbeda pada
penekanannya. Karena itu, dunia hiperealitas dapat dipandang sebagai dunia
perekayasaan (dalam pengertian distorsi) realitas lewat hyper-sign, sehingga
tanda-tanda tersebut kehilangan kontak dengan realitas yang
direpresentasikannya.
Hiperealitas menciptakan satu kondisi yang di dalamnya
kepalsuan berbaur dengan keaslian; masa lalu berbaur masa kini; fakta
bersimpang siur dengan rekayasa; tanda melebur dengan realitas; dusta
bersenyawa dengan kebenaran. Kategori-kategori kebenaran, kepalsuan, keaslian,
isu, realitas seakan-akan tidak berlaku lagi di dalam dunia seperti itu -
sehingga pada akhirnya membentuk kesadaran diri (self-consciousness) yang
sesungguhnya adalah palsu. Dan kekuatan hipersemiotika dan hyper-sign merupakan
kekuatan utama dari apa yang disebut sebagai wacana postmodernisme, seperti
dalam arsitektur, desain, sastra, media, iklan, fashion, musik, film dan
berbagai produk kebudayaan lain yang sangat luas
Hak-hak konsumen (universal)
1. Hak atas keselamatan
2. Hak untuk diberi informasi
3. Hak untuk memilih
4. Hak untuk didengar (diberi ganti
rugi)
5. Hak untuk menikmati lingkungan
yang bersih dan menyehatkan
6. Hak orang miskin dan minoritas
untuk dilindungi kepentingannya
Hak 1-4 diinisiasi oleh John F.
Kennedy
Hak 5-6 dari hasil konsensus sosial
Perkembangan teknologi informasi dan era perdagangan bebas
memunculkan masalah konsumerisme baru yang harus diwaspadai oleh berbagai pihak
sehingga dapat mencegah dampak yang merusak bagi konsumen
Model dan Penelitian terhadap Perilaku Konsumen
Dalam usaha untuk lebih memahami perilaku konsumen, seorang
pemasar akan melakukan penelitian yang terkait dengan konsumen dan produk yang
dipasarkan. Penelitian ini dilakukan dalam upaya untuk mengumpulkan informasi
mengenai karakteristik perilaku konsumen sehingga seorang pemasar akan dapat
lebih mengenal siapa konsumennya, dan bagaimana perilaku mereka dalam mencari,
menggunakan, dan membuang produk.
Perilaku konsumen sangat kompleks dan melibatkan banyak
variabel dalam analisis sehingga diperlukan model-model perilaku konsumen untuk
menyederhanakan gambaran dan keterkaitan antar variabel tersebut dalam perilaku
konsumen. Dengan berpedoman kepada model-model perilaku konsumen yang telah ada
maka penelitian akan lebih mudah dilakukan karena variabel-variabel terkait
sudah teridentifikasi di dalam model-model tersebut.
Lembaga Perlindungan Konsumen
Tidak pahamnya konsumen mengenai hak dan kewajibannya
sebagai seorang konsumen yang menggunakan barang dan atau jasa yang disediakan
oleh pelaku bisnis, sering kali menimbulkan permasalahan yang merugikan
konsumen. Kerugian dapat berupa kerugian fisik (kesehatan dan keselamatan)
maupun kerugian nonfisik yaitu uang. Sering kali konsumen hanya pasrah setelah
menerima perlakuan yang merugikan mereka, yang disebabkan karena mereka tidak
tahu bagaimana dan kepada siapa harus mengadukan permasalahannya.
Perlindungan konsumen ini tertuang dalam Undang-undang No.8
Tahun 1999 yang dikenal dengan Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK), di
mana secara jelas diuraikan berbagai hal mengenai hak dan kewajiban konsumen
dan pelaku bisnis serta pihak-pihak yang terkait dalam program Perlindungan
Konsumen. Berikut ini adalah isi UU No. 8 1999
UU
NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
BAB
III, Pasal 4
Hak
konsumen adalah :
a.
hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa;
b.
hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c.
hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa;
d.
hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;
e.
hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan dan pendidikan konsumen secara patut;
f.
hak untuk mendapat pembinaaan dan pendidikan konsumen;
g.
hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif.
h.
Hak untuk mendapatkan barang kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau
tidak sebagaimana mestinya;
i.
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya
Selain
hak kewajiban yang harus dilakukan konsumen menurut UU No. 8 ini adalah sebagai
berikut.
KEWAJIBAN
KONSUMEN
(Pasal
55 UU No. 8 Tahun 1999)
•
Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
• Beritikad baik
• Membayar sesuai dengan nilai tukar
yang disepakati
• Mengikuti upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut
Salah satu lembaga yang bergerak dalam perlindungan konsumen
ini adalah Yayasan lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang tujuan utamanya
adalah untuk membantu konsumen Indonesia agar tidak dirugikan dalam mengonsumsi
barang dan atau jasa.
Globalisasi dan Perubahan Perilaku
Konsumen
Globalisasi menghilangkan batas-batas negara untuk
mengonsumsi suatu produk atau jasa. Teknologi informasi akan memudahkan
konsumen untuk memperoleh informasi yang terkait dengan perilaku konsumsi,
produk, dan gaya hidup di negara lain dan akan mempengaruhi perilaku
konsumsinya sendiri. Teknologi informasi juga mempengaruhi pelaku bisnis dalam
hal penyebaran informasi dan melakukan komunikasi dengan konsumen.
Pada saat seorang konsumen mengambil keputusan pembelian,
mereka juga mempertimbangkan negara asal dari merek sebagai bahan evaluasi.
Konsumen memiliki sikap, preferensi, dan persepsi tertentu terhadap produk atau
jasa yang dihasilkan suatu negara. Efek negara asal ini mempengaruhi bagaimana
konsumen menilai kualitas dan pilihan mereka terhadap produk yang akan
dikonsumsi