Selasa, 03 Maret 2015

BERPIKIR



A.   PENGERTIAN BERPIKIR
Kegiatan berpikir dan berjalan adalah sebuah kegiatan yang aktif. Setiap penampilan dari kehidupan bisa disebut sebagai aktivitas. Seseorang yang diam dan mendengarkan musik atau tengah melihat televisi tidak bisa dikatakan pasif. Maka situasi dimana sama sekali sudah tidak ada unsur keaktifan, disebut dengan mati. Menurut sudut pandang behaviorisme khususnya fungsionalis berpendapat bahwa berpikir sebagai penguatan antara stimulus dan respons. Demikian juga menurut kaum asosiasionis memandang berpikir hanya sebagai asosiasi antara tanggapan atau bayangan satu dengan yang lainnya yang saling kait mengait. Secara lebih formal, berpikir adalah penyusunan ulang atau manipulasi kognitif baik informasi dari lingkungan maupun simbol-simbol yang disimpan dalam long term memory.
Sumber gambar: www.viva.co.id
Berpikir adalah sebuah representasi simbol dari beberapa peristiwa atau item (Khodijah, 2006:117). Sedangkan menurut Drever (dalam Walgito, 1997 dikutip Khodijah, 2006:117) berpikir adalah melatih ide-ide dengan cara yang tepat dan seksama yang dimulai dengan adanya masalah. Solso (1998 dalam Khodijah, 2006:117) berpikir adalah sebuah proses dimana representasi mental baru dibentuk melalui transformasi informasi dengan interaksi yang komplek atribut-atribut mental seperti penilaian, abstraksi, logika, imajinasi, dan pemecahan masalah.
Dari pengertian tersebut tampak bahwa ada tiga pandangan dasar tentang berpikir, yaitu (1) berpikir adalah kognitif, yaitu timbul secara internal dalam pikiran tetapi dapat diperkirakan dari perilaku, (2) berpikir merupakan sebuah proses yang melibatkan beberapa manipulasi pengetahuan dalam sistem kognitif, dan (3) berpikir diarahkan dan menghasilkan perilaku yang memecahkan masalah atau diarahkan pada solusi.

B.   PROSES BERPIKIR
Proses atau jalannya berpikir itu pada pokoknya ada tiga langkah, yaitu:
1.      Pembentukan Pengertian
Pengertian, atau lebih tepatnya disebut pengertian logis di bentuk melalui tiga tingkatan, sebagai berikut:
a.   Menganalisis ciri-ciri dari sejumalah obyek yang sejenis. Obyek tersebut kita perhatikan unsur - unsurnya satu demi satu. Misalnya maupun membentuk pengertian manusia. Kita ambil manusia dari berbagai bangsa lalu kita analisa ciri-ciri misalnya:
-          Manusia Indonesia, ciri-cirinya: mahluk hidup, berbudi, berkulit sawo matang, berambut hitam dan sebagainya.
-     Manusia Eropa, ciri-cirinya: mahluk hidup, berbudi, berkulit putih, berambut pirang atau putih, bermata biru terbuka dan sebagainya.
-     Manusia Negro, ciri-cirinya: mahluk hidup, berbudi, berkulit htam, berambut hitam kriting, bermata hitam melototn dan sebagainya.
-     Manusia Cina, ciri-cirinya: mahluk hidup, berbudi, berkulit kuning, berambut  hitam lurus, bermata hitam sipit dan sebagainya.
b.      Membanding-bandingkan ciri tersebut untuk diketemukan ciri-ciri mana yang sama atau yang tidak sama, mana yang selalu ada atau yang tidak selalu ada, mana yang hakiki atau yang tidak hakiki.
c.       Mengabstraksikan, yaitu menyisihkan, membuang, ciri-ciri yang tidak hakiki, menangkap cirri-ciri yang hakiki. Pada contoh di atas ciri - ciri yang hakiki itu ialah: Makhluk hidup yang berbudi.

2.      Pembentukan Pendapat
Membentuk pendapat adalah meletakkan hubungan antara dua buah pengertian atau lebih. Pendapat yang dinyatakan dalam bahasa disebut kalimat, yang terdiri dari pokok kalimat atau subyek dan sebutan atau predikat. Selanjutnya pendapat dapat dibedakan menjadi 3 macam yaitu:
a.       Pendapat Afirmatif atau positif, yaitu pendapat yang menyatakan keadaan sesuatu, Misalnya Sitotok itu pandai, Si Ani rajin dan sebagainya.
b.      Pendapat Negatif, yaitu Pendapat yang menidakkan, yang secara tegas menerangkan tentang tidak adanya seuatu sifat pada sesuatu hal. Misalnya Sitotok itu bodoh Si Ani malas dan sebagainya.
c.       Pendapat Modalitas atau kebarangkalian, yaitu pendapat yang menerangkan kebarangkalian, kemungkinan-kemungkinan sesuatu sifat pada sesuatu hal. Misalnya hari ini mungkin hujan, Si Ali mungkin tidak datang. dan sebagainya.

3.      Penarikan Kesimpulan atau Pembentukan Keputusan
Keputusan adalah hasil perbuatan akal untuk membentuk pendapat baru berdasarkan pendapat-pendapat yang telah ada. Ada 3 macam keputusan, yaitu:
a.       Keputusan induktif yaitu keputusan yang diambil dari pendapat-pendapat khusus menuju ke satu pendapat umum. Misalnya: tembaga dipanaskan akan memuai, perak dipanaskan akan memuai,
besi dipanaskan akan memuai, kuningan dipanaskan akan memuai. Jadi kesimpulannya yaitu semua logam kalau dipanaskan akan memuai (Umum).
b.      Keputusan Deduktif ditarik dari hal yang umum ke hal yang khusus, jadi berlawanan dengan keputusan induktif. Misalnya: semua logam kalau dipanaskan memuai (umum), tembaga adalah logam. Jadi kesimpulan yaitu tembaga kalau dipanaskan akan memuai.
c.       Keputusan Analogis adalah keputusan yang diperoleh dengan jalan membandingkan atau menyesuaikan dengan pendapat-pendapat khusus yang telah ada. Misalnya: Totok anak pandai, naik kelas (Khusus). Jadi kesimpulannya Si Nunung anak yang pandai itu, tentu naik kelas.

C.   KONSEP ATAU PENGERTIAN
Pengertian atau konsep merupakan konstruksi simbolik yang menggambarkan ciri atau beberapa ciri umum sesuatu objek atau kejadian. Misalnya pengertian manusia, merah, segitiga, belajar dan sebagainya. Dengan kemampuan manusia untuk membentuk konsep atau pengertian memungkinkan manusia untuk mengadakan klasifikasi atau penggolongan benda-benda atau kejadian-kejadian. Misalnya manusia dapat menggolongkan yang merah dan yang bukan merah, manusia dan bukan manusia, demikian juga yang lain-lain. Karena itu konsep atau pengertian merupakan alat (tool) yang baik atau tepat (convenient) dalam berpikir atau problem solving.
Dalam pengertian atau konsep didapati ada beberapa macam konsep yaitu:
1.   Konsep-konsep atau pengertian-pengertian yang sederhana (simple concept). Pengertian yang sederhana yaitu pengertian yang dibatasi ciri atau atribusi tunggal, seperti “merah”.
2.   Konsep-konsep yang kompleks (complex concepts). Pengertian atau konsep yang digunakan dalam berpikir dibatasi oleh ciri yang tidak tunggal.

D.   CARA MEMPEROLEH KONSEP ATAU PENGERTIAN
Untuk memperoleh pengertian ada beberapa macam  cara yaitu:
1.   Dengan sengaja. Pengertian yang diperoleh dengan sengaja yaitu usaha dengan sengaja untuk memperoleh pengertian atau konsep, yang kadang-kadang disebut dengan sengaja, maka pengertian ini dibentuk dengan penuh kesadaran. Prosedurnya melalui beberapa tingkatan (misal untuk mendapatkan pengertian atau konsep mengenai gas): (1) tingkat analisis (2) tingkat mengadakan komperasi (3) tingkat abstraksi (4) tingkat menyimpulkan.
2.   Dengan tidak sengaja. Pengertian yang diperoleh dengan  tidak disengaja ini sering disebut pengertian pengalaman, artinya pengertian yang diperoleh dengan secara tidak sengaja diperoleh sambil lalu dengan pengalaman-pengalaman. Misalnya pengertian anak pada umumnya diperoleh melalui proses generalisasi, kemudian atas daya berpikirnya timbul proses diferensiasi, yaitu proses membedakan satu dengan yang lain.

Senin, 02 Maret 2015

KEBISINGAN


Pendahuluan
            Setiap hari dalam kehidupan kita pasti mendengarkan bermacam-macam suara, baik itu suara percakapan, dering telepon, music, kendaraan dll, dan tanpa disadari suara-suara tersebut dapat menimbulkan masalah dalam kehidupan kita. Gangguan suara tersebut timbul karena tingkat volume suarayang terlalu besar sehingga tidak nyaman di telinga kita, atau karena frekuensi dari suara yang timbul tersebut sehingga kita merasa bising dan tidak nyaman dengan hal tersebut.
            Kebisingan dewasa ini merupakan salah satu masalah bagi kesehatan lingkungan, karena dapat menyebabkan gangguan bak secara fisik maupun secara psikologis. Menurut Bell P. A, dkk, 1996, definisi secara sederhana dari kebisingan adalah suara yang tidak diinginkan. Sasongko, 2000, mendefinisikan kebisingan sebagai bunyi yang tidak dikehendaki karena tidak sesuai konteks ruang dan waktu sehingga dapat menimbulkan gangguan terhadap kenyamanan dan kesehatan manusia. Pengertian tersebut dapat dijelaskan dalam suatu aplikasi dimana kita akan sangat menikmati lantunan musik disco saat kita mendengarkannya saat waktu senggang di kamar kita, namun bila musik tersebut mengganggu saat kita belajar atau tidur maka musik tersebut dapat dikatakan menimbulkan kebisingan.
            Kebisingan merupakan bagian dari kondisi lingkungan yang perlu mendapatkan perhatian serius karena dapat mempengaruhi keseimbangan kehidupan antara manusia dan lingkungannya. Kebisingan merupakan salah satu bentuk polusi yang bersumber dari suara, oleh karena itu bila hal tersebut tidak dapat dihilangkan, maka diperlukan suatu cara yang dapat mereduksi suara tersebut untuk meminimalkan efek dari suara bising tersebut. Penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai Kebisingan, faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kebisingan, dampak bagi kesehatan manusia serta bagaimana cara mengatasi/mengurangi kebisingan.

Isi
Pengertian Bising
            Bising yang diartikan sebagai suara yang tidak dikehendaki menimbulkan suatu pengertian yang bersifat subyektif. Hal tersebut berarti bahwa suara yang yang didengar oleh individu pada suatu momen dan tempat tertentu dapat dianggap bukan sebagai sumber kebisingan, namun pada momen dan tempat yang lain dianggap sebagai suara yang bising. Dalam kesehatan kerja, bising diartikan sebagai suara yang dapat menurunkan pendengaran baik secara kwantitatif (peningkatan ambang pendengaran) maupun secara kwalitatif (penyempitan spektrum pendengaran), berkaitan dengan faktor intensitas , frekuensi, durasi, dan pola waktu.
            Suara dikatakan bising bila suara-suara tersebut menimbulkan gangguan terhadap lingkungan seperti gangguan percakapan, gangguan tidur dan lain-lain (Suma’mur, 1996). Menurut Doelle (1993): “suara atau bunyi secara fisik merupakan penyimpangan tekanan, pergeseran partikel dalam medium elastis seperti misalnya udara. Secara fisiologis merupakan sensasi yang timbul sebagai akibat propagasi energi getaran dari suatu sumber getar yang sampai ke gendang telinga.” Senada dengan hal itu Patrick (1977) menyatakan bahwa kebisingan dapat pula diartikan sebagai bentuk suara yang tidak sesuai dengan tempat dan waktunya. Sedangkan menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. KEP-48/MENLH/11/1996 definisi bising adalah “bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan dan kenyamanan lingkungan.
Bunyi yang menimbulkan kebisingan disebabkan oleh sumber suara yang bergetar. Getaran sumber suara ini mengganggu keseimbangan molekul udara sekitarnya sehingga molekul-molekul udara ikut bergetar. Getaran sumber ini menyebabkan terjadinya gelombang rambatan energi mekanis dalam medium udara menurut pola ramatan longitudinal. Rambatan gelombang diudara ini dikenal sebagai suara atau bunyi sedangkan dengan konteks ruang dan waktu sehingga dapat menimbulkan gangguan kenyamanan dan kesehatan.

Jenis-Jenis Kebisingan
            Jenis-jenis kebisingan yang sering ditemui menurut Suma’mur, 1996 adalah sebagai berikut:
  1. Kebisingan kontinu dengan spektrum frekuensi yang luas (steady state, wide band noise), misalnya mesin-mesin, kipasangin, dapur pijar dan lain-lain.
  2. Kebisingan kontinu dengan spektrum frekuensi sempit (steady state, narrow band noise), misalnya gergaji sirkuler, katup gasdan lain-lain.
  3. Kebisingan terputus-putus (intermittent ), misalnya lalu lintas,suara kapal terbang di lapangan udara.
  4. Kebisingan impulsive (impact or impulsive noise), seperti tembakan bedil, atau meriam, ledakan.
  5. Kebisingan impulsive berulang, misalnya mesin tempa diperusahaan.
Sumber Kebisingan
            Bunyi yang menimbulkan kebisingan bersumber dari sumber suara yang bergetar. Getaran tersebut akan menggetarkan molekul udara di sekitarnya sehingga terjadi rambatan gelombang mekanik secara longitudinal.
Sumber bunyi yang menyebabkan kebisingan menurut sifatnya dibagi atas:
1. Sumber kebisingan statis, misalnya pabrik, mesin, tape, dan lainnya
2. Sumber kebisingan dinamis, misalnya mobil, pesawat terbang, kapal laut, dan lainnya.
Sedangkan sumber kebisingan ditinjau dari segi bentuknya dapat dibedakan menjadi 2 jenis yaitu:
1.  Sumber  bising  yang  berbentuk  sebagai  suatu  titik/bola/lingkaran. Contohnya  sumber  bising  dari  mesin-mesin  industri/mesin  yang  tak bergerak
2.  Sumber  bising  yang  berbentuk  sebagai  suatu  garis, contohnya  kebisingan  yang timbul karena kendaraan-kendaraan yang bergerak di jalan.(Sasongko, 2000)
Berdasarkan letak dimana sumber suara tersebut berasal kebisingan terdiri atas:
1.  Bising Interior
Merupakan bising  yang  berasal  dari  manusia,  alat-alat  rumah  tangga atau mesin-mesin gedung  yang antara lain disebabkan oleh radio, televisi, alat-alat  musik,  dan juga  bising  yang  ditimbulkan  oleh  mesin-mesin  yang  ada  di gedung  tersebut seperti  kipas  angin,  motor  kompresor  pendingin,pencuci piring dan lain-lain.

2.  Bising Eksterior
Bising  yang  dihasilkan  oleh  kendaraan  transportasi  darat,  laut,  maupun udara, dan alat-alat konstruksi.

Nilai Ambang Kebisingan
            Dari definisi kebisingan yang telah dikemukakan di atas, tidak semua suara yang kita dengar adalah suara bising. Kebisingan terjadi bila suara tersebut tidak kita kehendaki atau bila suara tersbut melebihi Nilai Ambang Kebisingan (NAB). NAB merupakan batas maksimal tingkat kebisingan yang diperbolehkan dibuang ke lingkungan dari usaha  atau  kegiatan  sehingga  tidak  menimbulkan  gangguan  kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan. Ambang batas kebisingan menurut Kep.Men-48/MEN.LH/11/1996 untuk wilayah perumahan dan lingkungan kegiatan seperti rumahsakit, sekolah, dan tempat ibadah adalah sebesar 55 db.
Dampak kebisingan
            Suara yang tidak diinginkan akan dapat memberikan dampak yang kurang baik terhadap kesehatan baik secara fisik maupun secara psikologis. WHO sebagai badan kesehatan dunia mengakui bahwa efek kesehatan penduduk yang berasal dari kebisingan, dapat menebabkan berbagai gangguan antara lain ketergangguan pola tidur, kardiovaskuler, sistem  pernafasan,  psikologis, fisiologis,  dan  pendengaran. Kebisingan  juga berpengaruh  negatif  dalam  komunikasi,  produktivitas  dan  perilaku  sosial. Kebisingan  dapat menimbulkan gangguan  pada  indera  pendengaran antara  lain trauma  akustik,  ketulian  sementara,  hingga  ketulian  permanen. Trauma  akustik  adalah  gangguan pendengaran  yang  disebabkan  oleh pemaparan  tungal akibat intensitas  kebisingan  yang  sangat  tinggi  dan  terjadi secara tiba-tiba. Ketulian sementara merupakan  gangguan pendengaran  yang sifatnya sementara, daya dengar mampu pulih kembali berkisar dari beberapa menit sampai beberapa hari (3-10 hari) (anonymus). Besar kecilnya dampak yang ditimbulkan tersebut dipengaruhi oleh  intensitas  (loudness),  frekuensi,  periodesitas (kontinyu  atau  terputus)  dan  durasinya.

Pengendalian Kebisingan
            Kebisingan tidak bisa kita hindarkan karena kebisingan adalah efek dari timbulnya suara. Meskipun demikian bukan berarti kebisingan diabaikan, kebisingan perlu untuk di kendalikan, karena bila tidak hal tersebut dapat mengganggu kesehatan kita. Dalam proses pengendalian kebisingan ini hal yang perlu dilakukan adalah melihat sumber, jalur dan penerima suara, dan pengendaliannya dapat dilakukan dengan melakukan intervensi terhadap ketiga hal tersebut.
            Ada  dua  jenis  pengendalian  kebisingan,  yaitu  pengendalian  bising  aktif  (active  noise control) dan pengendalian bising pasif (passive noise control). Pada Active  Noise Control dapat  dilakukan  dengan  Kontrol  pada  Sumber.  Pengontrolan kebisingan  pada  sumber  dapat  dilakukan  dengan  modifikasi  sumber,  yaitu  penggantian komponen  atau  mendisain  ulang  alat  atau  mesin  supaya  kebisingan  yang  ditimbulkan  bisa dikurangi.  Program maintenance yang  baik  supaya  mesin  tetap  terpelihara,  dan  penggantian proses.  Misalnya  mengurangi  faktor  gesekan  dan  kebocoran  suara,  memperkecil  dan mengisolasi elemen getar, melengkapi peredam pada mesin, serta pemeliharaan rutin terhadap mesin.  Tetapi  cara  ini  memerlukan  penelitian  intensif  dan  umumnya  juga  butuh  biaya  yang sangat tinggi (Goembira, Fadjar, Vera S Bachtiar, 2003). Selain  pengendalian  dengan  melakukan  kontrol  pada  sumber  bising,  pengendalian  kebisingan juga  dapat  dilakukan  dengan  pengendalian  pada  medium  perambatan.  Usaha  ini  bertujuan untuk  menghalangi  perambatan  suara  dari  sumber  suara  yang  menuju  ke  telinga  manusia. Untuk  menghalangi  perambatan,  ditempatkanlah sound  barrier  antara  sumber  suara  dan telingan.  Pemblokiran  rambatan  ini  hanya  akan  berhasil  jika sound  barrier tidak  ikut  bergetar (resonansi)  saat  tertimpa  gelombang  yang  merambat,  hal  ini  sangat  tergantung  pada  bahan dimensi. 

Daftar Pustaka
Dwi P. Sasongko. 2000.  Kebisingan Lingkungan.  Semarang: Universitas Diponegoro.
http://id.scribd.com/doc/92574470/Kebisingan diakses pada 21 November 2012
Suma’mur P. K.1989. Keselamatan Kerja dan Pencegahan Kecelakaan. Jakarta: PT. Toko Gunung Agung.



Minggu, 01 Maret 2015

KONSUMERISME


Konsumerisme
Konsumerisme adalah suatu gerakan sosial yang dilakukan oleh berbagai pihak yang bertujuan untuk meningkatkan posisi konsumen dalam berinteraksi dengan pihak penjual, baik sebelum, pada saat, dan setelah konsumsi dilakukan. Konsumen perlu mengetahui hak-haknya secara jelas sehingga apabila terjadi ketidaksesuaian yang dirasakan pada tiga fase tersebut, konsumen akan dapat mengidentifikasi letak ketidaksesuaiannya, di mana karena sumber permasalahan dapat berasal dari kecerobohan konsumen itu sendiri.
Pemaknaan istilah konsumtivisme dan konsumerisme jelas berbeda, sama hal orang menilai apa itu emas dan kuningan, tetapi kerap kali konsumtivisme di-sama-arti-kan dengan konsumerisme. Kedua istilah tersebut adalah dua hal yang berbeda maknanya. Dari kedua arti kata-kata tersebut jelas bahwa konsumerisme justru yang harus digalakkan dan konsumtivisme yang harus dijauhi.
Konsumtivisme merupakan paham untuk hidup secara konsumtif, sehingga orang yang konsumtif dapat dikatakan tidak lagi mempertimbangkan fungsi atau kegunaan ketika membeli barang melainkan mempertimbangkan prestise yang melekat pada barang tersebut. Oleh karena itu, arti kata konsumtif (consumtive) adalah boros atau perilaku yang boros, yang mengonsumsi barang atau jasa secara berlebihan. Dalam artian luas konsumtif adalah perilaku berkonsumsi yang boros dan berlebihan, yang lebih mendahulukan keinginan daripada kebutuhan, serta tidak ada skala prioritas atau juga dapat diartikan sebagai gaya hidup yang bermewah-mewah.
Sedangkan konsumerisme itu sendiri merupakan gerakan konsumen (consumer movement) yang mempertanyakan kembali dampak-dampak aktivitas pasar bagi konsumen (akhir). Dalam pengertian lebih luas, istilah konsumerisme, dapat diartikan sebagai gerakan yang memperjuangkan kedudukan yang seimbang antara konsumen, pelaku usaha dan negara dan gerakan tidak sekadar hanya melingkupi isu kehidupan sehari-hari mengenai produk harga naik atau kualitas buruk, termasuk hak asasi manusia berikut dampaknya bagi konsumer. Dalam kamus bahasa Inggris-Indonesia kontemporer (Peter Salim, 1996), arti konsumerisme (consumerism) adalah cara melindungi publik dengan memberitahukan kepada mereka tentang barang-barang yang berkualitas buruk, tidak aman dipakai dan sebagainya. Selain itu, arti kata ini adalah pemakaian barang dan jasa. Bila kita telesuri makna kata konsumtivisme maupun konsumerisme bukan sesuatu hal yang baru. Sebab pada dasarnya -isme yang satu ini ternyata sudah lama ada dan sejak awal telah mengakar kuat di dalam kemanusiaan kita (our humanity). Hal ini bisa kita lihat dari ekspresinya yang paling primitif hingga yang paling mutakhir di jaman modern ini. Tendensi yang ada dalam diri manusia untuk selalu tak pernah puas (never-ending-discontentment) ”mau ini-mau itu” dengan hal-hal yang telah mereka miliki, ditambah dengan dorongan kuat ambisi pribadi dan semangat kompetisi untuk mencapai sesuatu yang lebih daripada tetangga sebelah membuat pola hidup konsumerisme (dibaca : konsumtivisme) semakin subur dan berkembang amat cepat saja.

Masyarakat Konsumer
Dalam ranah masyarakat konsumer hasrat direproduksi lewat ide-ide yang terbentuk lewat proses sosial. Baudrillard misalnya melihat bahwa struktur nilai yang tercipta secara diskursif menentukan kehadiran hasrat. Struktur nilai dalam realitas masyarakat konsumer ini menurutnya mengejawantah dalam kode-kode. Produksi tidak lagi menciptakan materi sebagai objek eksternal, produksi menciptakan materi sebagai kode-kode yang menstimulasi kebutuhan atau hasrat sebagai objek internal konsumsi. Dalam nalar Freudian hasrat untuk mengonsumsi secara mendasar adalah sesuatu yang bersifat instingtual. Ia berada dalam fase pertama perkembangan struktur psikis manusia: yaitu id. Pada fase id ini semua tindakan mengacu atau didasari oleh prinsip kesenangan-kesenangan yang bersifat spontan. Adalah jelas bahwa tindakan untuk mencapai kepuasan dan kesenangan spontan ini dalam fase id bersifat irasional. Mengonsumsi pada awalnya terkait dengan tindakan menggapai kepuasan secara irasional, spontan dan temporal - fase id struktur psikis manusia.

Masyarakat konsumer disebut Jean Braudillard dengan masyarakat kapitalis mutakhir (Jean Braudillard, 2005) dan Adorno dengan “masyarakat komoditas” (commodity society) (Ibrahim dalam Ibrahim, hal. 1997, hal. 24). Adorno mengemukakan empat aksioma penting yang menandai “masyarakat komoditas” atau ”masyarakat konsumer”. Empat aksioma tersebut adalah ; Pertama, masyarakat yang di dalamnya berlangsung produksi barang-barang, bukan terutama bagi pemuasan keinginan dan kebutuhan manusia, tetapi demi profit dan keuntungan. Kedua, dalam masyarakat komoditas, muncul kecenderungan umum ke arah konsentrasi kapital yang massif dan luar biasa yang memungkinkan penyelubungan operasi pasar bebas demi keuntungan produksi massa yang dimonopoli dari barang-barang yang distandarisasi. Kecenderungan ini akan benar-benar terjadi, terutama terhadap industri komunikasi. Ketiga, hal yang lebih sulit dihadapi oleh masyarakat kontemporer adalah meningkatnya tuntutan terus menerus, sebagai kecenderungan dari kelompok yang lebih kuat untuk memelihara, melalui semua sarana yang tersedia, kondisi-kondisi relasi kekuasaan dan kekayaan yang ada dalam menghadapi ancaman-ancaman yang sebenarnya mereka sebarkan sendiri. Dan keempat, karena dalam masyarakat kita kekuatan-kekuatan produksi sudah sangat maju, dan pada saat yang sama, hubungan-hubungan produksi terus membelenggu kekuatan-kekuatan produksi yang ada, hal ini membuat masyarakat komoditas “sarat dengan antagonisme” (full of antagonism). Antagonisme ini tentu saja tidak terbatas pada “wilayah ekonomi” (economic sphere) tetapi juga ke “wilayah budaya” (cultural sphere).

Proses Gaya Hidup
Dalam masyarakat komoditas atau konsumer terdapat suatu proses adopsi cara belajar menuju aktivitas konsumsi dan pengembangan suatu gaya hidup (Feathersone, 2005). Pembelajaran ini dilakukan melalui majalah, koran, buku, televisi, dan radio, yang banyak menekankan peningkatan diri, pengembangan diri, transformasi personal, bagaimana mengelola kepemilikan, hubungan dan ambisi, serta bagaimana membangun gaya hidup.

Dengan demikian, mereka yang bekerja di media, desain, mode, dan periklanan serta para ‘intelektual informasi’ yang pekerjaannya adalah memberikan pelayanan serta memproduksi, memasarkan dan menyebarkan barang-barang simbolik disebut oleh Bordieu (1984) sebagai ‘perantara budaya baru’. Dalam wacana kapitalisme, semua yang diproduksi oleh kapitalisme pada akhirnya akan didekonstruksi oleh produksi baru berikutnya, berdasarkan hukum “kemajuan” dan “kebaruan”. Dan karena dukungan media, realitas-realitas diproduksi mengikuti model-model yang ditawarkan oleh media (Piliang dalam Ibrahim, 1997, hal. 200).
Budaya konsumerisme terutama muncul setelah masa industrialisasi ketika barang-barang mulai diproduksi secara massal sehingga membutuhkan konsumen lebih luas. Media dalam hal ini menempati posisi strategis sekaligus menentukan; yaitu sebagai medium yang menjembatani produsen dengan masyarakat sebagai calon konsumen.
Masalah ini dikaji secara reflektif-akademik oleh seorang cendikiawan Prancis terkemuka, Jean Baudrillard. Secara umum, menurutnya, media berperan sebagai agen yang menyebar imaji-imaji kepada khalayak luas. Keputusan setiap orang untuk membeli atau tidak, benar-benar dipengaruhi oleh kekuatan imaji tersebut. Jadi motivasi untuk membeli tidak lagi berangkat dari dalam diri seseorang berdasarkan kebutuhannya yang riil, namun lebih karena adanya otoritas lain di luar dirinya yang “memaksa” untuk membeli. Hasrat belanja masyarakat merupakan hasil konstruksi yang disengaja. Jauh hari sebelum hari-hari besar itu, media terutama televisi telah memoles-moles dirinya untuk bersiap bergumul ke dalam kancah persaingan merebut hati para pemirsa. Berbagai program, dari mulai sinetron, kuis, sandiwara komedi, sampai musik, disediakan sebagai persembahan spesial untuk menyambut hari spesial. Semakin cantik acara yang disajikan akan semakin mengundang banyak penonton. Selanjutnya, rating-pun tinggi sehingga merangsang kalangan produsen untuk memasang iklan. Iklan merupakan proses persuasi yang sangat efektif dalam memengaruhi keputusan masyarakat dalam mengonsumsi.
Bagaimana menghindar dari konsumerisme? Mengonsumsi sebenarnya merupakan kegiatan yang wajar dilakukan. Namun, dewasa ini disadari bahwa masyarakat tidak hanya mengonsumsi, tapi telah terjebak ke dalam budaya konsumerisme. Budaya ini dikatakan berbahaya karena berekses negatif terhadap lingkungan hidup, juga meluruhnya hubungan sosial dan bertahtanya kesadaran palsu di benak masyarakat. Sekarang sudah saatnya menjadi konsumen yang cerdas dan kritis, bukan lagi saatnya menjadi — dalam istilah Bre Redana — mindless consumer, konsumen yang tidak berotak, pasif, dan gampang dibodohi. Mulailah mengendalikan diri dan membelanjakan uang hanya untuk barang yang benar-benar kita perlukan, jangan mudah terpengaruh dengan rayuan untuk membeli dan mulai mempertanyakan proses di balik pembuatan barang yang akan kita beli. Sebagai konsumen, kita berhak melakukannya karena kita adalah raja


Budaya Konsumer   
Pilliang mengemukakan bahwa: Kebudayaan konsumer yang dikendalikan sepenuhnya oleh hukum komoditi, yang menjadikan konsumer sebagai raja; yang menghormati setinggi-tingginya nilai-nilai individu, yang memenuhi selengkap dan sebaik mungkin kebutuhan-kebutuhan, aspirasi, keinginan dan nafsu, telah memberi peluang bagi setiap orang untuk asyik dengan sendirinya (Piliang, 1999, hal. 44).
Masyarakat yang hidup dalam budaya konsumer. Ada tiga perspektif utama mengenai budaya konsumer menurut Featherstone (1991). Tiga perspektif yang dimaksud adalah ; Pertama, budaya konsumer di dasari pada premis ekspansi produksi komoditas kapitalis yang telah menyebabkan peningkatan akumulasi budaya material secara luas dalam bentuk barang-barang konsumsi dan tempat-tempat untuk pembelanjaan dan untuk konsumsi. Hal ini menyebabkan tumbuhnya aktivitas konsumsi serta menonjolnya pemanfaatan waktu luang (leisure) pada masyarakat kontemporer Barat. Kedua, perspektif budaya konsumer berdasarkan perspektif sosiologis yang lebih ketat, yaitu bahwa kepuasan seseorang yang diperoleh dari barang-barang yang dikonsumsi berkaitan dengan aksesnya yang terstruktur secara sosial. Fokus dari perspektif ini terletak pada berbagai cara orang memanfaatkan barang guna menciptakan ikatan sosial atau perbedaan sosial. Ketiga, perspektif yang berangkat dari pertanyaan mengenai kesenangan/kenikmatan emosional dari aktivitas konsumsi, impian dan hasrat yang menonjol dalam khayalan budaya konsumer, dan khususnya tempat-tempat kegiatan konsumsi yang secara beragam menimbulkan kegairahan dan kenikmatan estetis langsung terhadap tubuh.
Budaya konsumerisme (dibaca : konsumtivisme) merupakan jantung dari kapitalisme, adalah sebuah budaya yang di dalamnya berbagai bentuk dusta, halusinasi, mimpi, kesemuan, artifisialitas, pendangkalan, kemasan wujud komoditi, melalui strategi hipersemiotika dan imagologi, yang kemudian dikonstruksi secara sosial melalui komunikasi ekonomi (iklan, show, media dan sebagainya) sebagai kekuatan tanda (semiotic power) kapitalisme. Semiotika (semiotics) adalah salah satu dari ilmu yang oleh beberapa ahli/pemikir dikaitkan dengan kedustaan, kebohongan, dan kepalsuan, sebuah teori dusta. Jadi, ada asumsi terhadap teori dusta ini serta beberapa teori lainnya yang sejenis, yang dijadikan sebagai titik berangkat dari sebuah kecenderungan semiotika, yang kemudian disebut juga sebagai hipersemiotika (hyper-semiotics).
Umberto Eco yang menulis tentang teori semiotika ini mengatakan bahwa semiotika “…pada prinsipnya adalah sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta (lie).” Definisi Eco cukup mencengangkan banyak orang, secara eksplisit menjelaskan betapa sentralnya konsep dusta di dalam wacana semiotika, sehingga dusta tampaknya menjadi prinsip utama semiotika itu sendiri. Dalam semiotika, bila segala sesuatu yang dalam terminologi semiotika disebut sebagai tanda (sign), semata alat untuk berdusta, maka setiap tanda akan selalu mengandung muatan dusta; setiap makna (meaning) adalah dusta; setiap pengguna tanda adalah para pendusta; setiap proses pertandaan (signification) adalah kedustaan.
Umberto Eco menjelaskan bahwa bila sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan dusta, maka sebaliknya ia tidak dapat pula digunakan untuk mengungkapkan kebenaran (truth): ia pada kenyataannya tidak dapat digunakan untuk “mengungkapkan” apa-apa. Dia berpikir definisi sebagai sebuah teori kedustaan sudah sepantasnya diterima sebagai program komprehensif untuk semiotika umum. Hipersemiotika tidak sekadar teori kedustaan, melainkan teori yang berkaitan dengan relasi-relasi lainnya yang lebih kompleks antara tanda, makna dan realitas, khususnya relasi simulasi. Hipersemiotika yang berarti melampaui batas semiotika merupakan sebuah kecenderungan yang berkembang pada beberapa pemikir, khususnya pemikir semiotika yang berupaya melampaui batas oposisi biner (prinsip pertentangan di antara dua istilah berseberangan dalam strukturalisme, yang satu dianggap lebih superior dari yang lainnya: maskulin/feminin. Barat/Timur, struktur perkembangan, fisika/meta-fisika, tanda/realitas dan sebagainya.
Prinsip ini sangat sentral dalam pemikiran struktural mengenai semiotika, antara lain: perubahan dan transformasi, sifat imanensi, perbedaan, permainan bahasa, simulai, dan diskontinuitas. Dengan demikian, dunia hipersemiotika tidak dapat dipisahkan dari dunia hiperealitas yang dilukiskan oleh Baudrillard, sebuah dunia realitas yang dalam konstruksinya tidak bisa dilepaskan dari produksi dan permainan benas tanda-tanda yang melampaui (hyper-sign), sebuah tanda yang melampaui prinsip, definisi, struktur, dan fungsinya sendiri. Prinsipnya hipersemiotika sama dengan poststrukturalisme, persamaan konsep kunci yang digunakan di dalamnya, namun berbeda pada penekanannya. Karena itu, dunia hiperealitas dapat dipandang sebagai dunia perekayasaan (dalam pengertian distorsi) realitas lewat hyper-sign, sehingga tanda-tanda tersebut kehilangan kontak dengan realitas yang direpresentasikannya.
Hiperealitas menciptakan satu kondisi yang di dalamnya kepalsuan berbaur dengan keaslian; masa lalu berbaur masa kini; fakta bersimpang siur dengan rekayasa; tanda melebur dengan realitas; dusta bersenyawa dengan kebenaran. Kategori-kategori kebenaran, kepalsuan, keaslian, isu, realitas seakan-akan tidak berlaku lagi di dalam dunia seperti itu - sehingga pada akhirnya membentuk kesadaran diri (self-consciousness) yang sesungguhnya adalah palsu. Dan kekuatan hipersemiotika dan hyper-sign merupakan kekuatan utama dari apa yang disebut sebagai wacana postmodernisme, seperti dalam arsitektur, desain, sastra, media, iklan, fashion, musik, film dan berbagai produk kebudayaan lain yang sangat luas

Hak-hak konsumen (universal)
1. Hak atas keselamatan
2. Hak untuk diberi informasi
3. Hak untuk memilih
4. Hak untuk didengar (diberi ganti rugi)
5. Hak untuk menikmati lingkungan yang bersih dan menyehatkan
6. Hak orang miskin dan minoritas untuk dilindungi kepentingannya
Hak 1-4 diinisiasi oleh John F. Kennedy
Hak 5-6 dari hasil konsensus sosial
Perkembangan teknologi informasi dan era perdagangan bebas memunculkan masalah konsumerisme baru yang harus diwaspadai oleh berbagai pihak sehingga dapat mencegah dampak yang merusak bagi konsumen
Model dan Penelitian terhadap Perilaku Konsumen
Dalam usaha untuk lebih memahami perilaku konsumen, seorang pemasar akan melakukan penelitian yang terkait dengan konsumen dan produk yang dipasarkan. Penelitian ini dilakukan dalam upaya untuk mengumpulkan informasi mengenai karakteristik perilaku konsumen sehingga seorang pemasar akan dapat lebih mengenal siapa konsumennya, dan bagaimana perilaku mereka dalam mencari, menggunakan, dan membuang produk.
Perilaku konsumen sangat kompleks dan melibatkan banyak variabel dalam analisis sehingga diperlukan model-model perilaku konsumen untuk menyederhanakan gambaran dan keterkaitan antar variabel tersebut dalam perilaku konsumen. Dengan berpedoman kepada model-model perilaku konsumen yang telah ada maka penelitian akan lebih mudah dilakukan karena variabel-variabel terkait sudah teridentifikasi di dalam model-model tersebut.
Lembaga Perlindungan Konsumen
Tidak pahamnya konsumen mengenai hak dan kewajibannya sebagai seorang konsumen yang menggunakan barang dan atau jasa yang disediakan oleh pelaku bisnis, sering kali menimbulkan permasalahan yang merugikan konsumen. Kerugian dapat berupa kerugian fisik (kesehatan dan keselamatan) maupun kerugian nonfisik yaitu uang. Sering kali konsumen hanya pasrah setelah menerima perlakuan yang merugikan mereka, yang disebabkan karena mereka tidak tahu bagaimana dan kepada siapa harus mengadukan permasalahannya.
Perlindungan konsumen ini tertuang dalam Undang-undang No.8 Tahun 1999 yang dikenal dengan Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK), di mana secara jelas diuraikan berbagai hal mengenai hak dan kewajiban konsumen dan pelaku bisnis serta pihak-pihak yang terkait dalam program Perlindungan Konsumen. Berikut ini adalah isi UU No. 8 1999
UU NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
BAB III, Pasal 4
Hak konsumen adalah :
a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan dan pendidikan konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapat pembinaaan dan pendidikan konsumen;
g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
h. Hak untuk mendapatkan barang kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya
Selain hak kewajiban yang harus dilakukan konsumen menurut UU No. 8 ini adalah sebagai berikut.
KEWAJIBAN KONSUMEN
(Pasal 55 UU No. 8 Tahun 1999)
• Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
• Beritikad baik
• Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati
• Mengikuti upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut
Salah satu lembaga yang bergerak dalam perlindungan konsumen ini adalah Yayasan lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang tujuan utamanya adalah untuk membantu konsumen Indonesia agar tidak dirugikan dalam mengonsumsi barang dan atau jasa.
Globalisasi dan Perubahan Perilaku Konsumen
Globalisasi menghilangkan batas-batas negara untuk mengonsumsi suatu produk atau jasa. Teknologi informasi akan memudahkan konsumen untuk memperoleh informasi yang terkait dengan perilaku konsumsi, produk, dan gaya hidup di negara lain dan akan mempengaruhi perilaku konsumsinya sendiri. Teknologi informasi juga mempengaruhi pelaku bisnis dalam hal penyebaran informasi dan melakukan komunikasi dengan konsumen.
Pada saat seorang konsumen mengambil keputusan pembelian, mereka juga mempertimbangkan negara asal dari merek sebagai bahan evaluasi. Konsumen memiliki sikap, preferensi, dan persepsi tertentu terhadap produk atau jasa yang dihasilkan suatu negara. Efek negara asal ini mempengaruhi bagaimana konsumen menilai kualitas dan pilihan mereka terhadap produk yang akan dikonsumsi